BAI’AT DAN IMAMAH
Syaikh Muhammad bin Ramzan Al Hajiry hafizhahullaah berkata :
Da’wah salafiyyah tidaklah terbatas
perhatiannya hanya pada keyakinan yang shahih dalam Asma’ dan
Sifat, juga kepada pengesaan Allah saja
dalam ibadah, karena ada sebahagian orang yang sangat perhatian dengan
masalah-masalah ini, namun mereka menganggap enteng dalam masalah ba’iat
terhadap seorang imam yang muslim yang mungkin untuk dibai’at. Akhirnya dia
akan memiliki sikap yang sama seperti orang-orang khawarij, karena orang-orang
khawarij mereka tidak ada yang thawaf dan menyembelih untuk selain Allah dan
tidak pula mempunyai kesalahan dalam Asma’ dan Sifat, namun permasalahan yang
menjadikan Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib memerangi mereka adalah akibat
mereka keluar dari mendengar dan taat kepada penguasa.
Inilah poin yang ketiga : Tentang sikap Ahlu Sunnah dalam bai’at dan
imamah. Dan yang dimaksud sikap kepada imam yaitu (sikap kepada) pemerintah
atau penguasa muslim dan hak-haknya. Ahli Sunnah tidak mensyaratkan pada
seorang imam bahwa dia harus ma’sum (terjaga dari dosa, pent) sebagaimana dalam
haditsnya ‘Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab
Assunnah, beliau berkata : Kami bertanya : Ya Rasulallah, kami tidak menanyakan
kepadamu tentang taat kepada seorang yang bertaqwa, namun taat terhadap orang
yang telah berbuat demikian dan demikian ( mereka menyebutkan keburukan ), maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Bertaqwalah kepada Allah,
dengar dan taatlah!!” Dan tidak ada
yang mensyaratkan bahwa imam itu harus ma’sum kecuali orang-orang Rafidhah.
Maka kelompok-kelompok masa kini yang menolak untuk memberi bai’at kepada
penguasa dengan alasan penguasa tersebut seorang fasiq atau zalim, mereka telah
sesuai dengan orang-orang Rafidhah. Oleh karena inilah para salaf selalu
menyebutkan keyakinan dalam masalah imamah ini dalam buku-buku yang berkaitan
dengan akidah dengan ucapan mereka : “ Kami berpendapat untuk mendengar
dan taat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa, baik dia seorang yang baik
ataupun seorang yang zalim.” Apa yang dimaksud dengan fujur (zalim) ??
Tidak diragukan lagi bahwa fujur adalah kebalikan dari baik dan adil,
dan para salaf tidak mensyaratkan seorang penguasa harus orang yang baik dan
adil supaya ditaati dalam hal yang ma’ruf dan diharamkan untuk khuruj
(membelot/memberontak,pent) darinya.
Oleh karena itu sikap terhadap masalah imamah dan bai’at merupakan sikap
yang jelas bagi seorang pemuda dari kekacauan ini. Dan itu merupakan hal yang bisa
digunakan untuk menimbang berbagai
kelompok, individu ataupun jama’ah-jama’ah yang menisbatkan diri kepada ilmu
dan dakwah. Masalah ini adalah masalah yang rumit yang membutuhkan perhatian
dan harus bersih dari hawa nafsu.
Masalah ini tidak banyak diketahui
oleh para pemuda, siapa yang membicarakannya akan dicelanya kalau itu adalah basi-basi dan terlalu lunak,
dan tertutupnya masalah ini tidak lain karena tersamar dari apa yang
dikehendakinya.
Maka akan anda temui sebagian mereka masuk dalam kelompok-kelompok yang
mereka namakan “jihad” atau yang
lainnya, kemudian kembali dan dilehernya telah ada lima atau enam bai’at terhadap orang yang
membuat bagi mereka pemerintahan sendiri atau ia kembali ke masyarakatnya namun
tidak lagi mengakui bai’atnya atas pemerintahannya ! Apa hukum syar’i dalam
bai’at-bai’at ini? Apa arti bai’at ? Apa hukum-hukum bai’at itu ?
Saya menjawab : Telah berkata Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam kitab
Az Zahra’ fi Idhahil Imamatil Kubra (ق1/أ ) : “ Ahlu Sunnah, Mu’tazilah,
Murji’ah, Khawarij dan Syi’ah telah sepakat akan wajibnya imamah, dan wajib
atas umat untuk tunduk kepada imam yang adil kecuali Najdaat dari Khawarij[1],
mereka mengatakan : Tidak wajib imamah, dan wajib atas umat untuk menapaki
kebenaran diantara mereka, akan tetapi ini adalah pendapat yang lemah. Dan
golongan yang telah kami sebutkan bahwa tidak boleh ada dalam satu waktu
kecuali satu imam, kecuali Muhammad bin Kiram dan Abu Shabah As- Samarqandi dan
pengikutnya dimana mereka berpendapat akan bolehnya dua imam atau lebih dalam
satu waktu, mereka beralasan dengan perkataan orang-orang Anshar : “ Dari kami
ada amir dan kalian juga ada amir” Mereka juga beralasan akan keadaan Ali dan
anaknya serta Muawiyah radhiyallaahu ‘anhum."[2]
Berkata Syaikhul Islam ibnu taimiyah dalam Siyasah Syar’iyyah (hal :218)
: “ Perlu diketahui bahwa pemerintahan dianatara manusia termasuk diantara
kewajiban agama yang besar bahkan agama ini tidak akan tegak kecuali
dengannya, tidak akan sempurna kebaikan
dan maslahat manusia kecuali dengan bersatu, karena saling membutuhkan satu
sama lain, lalu ketika mereka bersatu harus ada pimpinan.”
Saya katakan : Yang telah menyelisihi Ahlu Sunnah Salafiyun dalam hal
ini, adalah orang-orang Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah dan Syi’ah dimana wajib
bagi umat untuk tunduk kepada imam sekalipun tidak berlaku adil. Hal ini
tentunya terkait dalam hal yang ma’ruf. Adapun jika imam yang dhalim ini
memerintahkan kemaksiatan atau kejahatan maka tidak ada ketaatan kepadanya
dalam kemaksiyatan dan kejahatan ini, namun dengan tanpa melepaskan ketaatan
dalam hal ma’ruf, dan terus menasehatinya jika memungkinkan, mendo’akannya dan
berusaha untuk memperbaiki tanpa membuat kekacauan atau menimbulkan fitnah.
Berkata Al Mardawy dalam kitab Al Inshaf
(10/310) : “Menegakkan imam adalah fardhu kifayah, beliau berkata dalam
Al Furu’ : Wajib kifayah pendapat yang paling benar. Barang siapa yang
ditetapkan imamahnya dengan ijma’ atau nas atau ijtihad atau dengan nas (imam)
sebelumnya atas dia dan dengan khabar yang ada ketentuannya, maka haram untuk
memeranginya, demikian pula jika seseorang memaksakan dengan pedangnya sampai
manusia tunduk kepadanya dan mengakuinya sebagai imam”
Saya katakan : Dan yang menjadi dasar pada perkataan Al Mardawy ini
adalah mengakui imamah seseorang yang dia paksakan pada manusia dengan
pedangnya, kemudian manusia tunduk kepadanya sehingga akhirnya dia menjadi imam
bagi mereka, maka haram untuk memeranginya.
Telah berkata Babarty dalam Al Inayah fi Syarhil Hidayah (7/255) : “
Perbedaan antara qadhi, imamah dan imarah adalah bahwa jika imam atau amir itu
adil saat diikuti kemudian berbuat fasik maka tidak boleh keluar dari imamah
dan keamirannya, dan keamiran dibangun di atas pemerintahan,
tunduk dan kemenangan. Tidakkah anda lihat
diantara para umara’ yang berkuasa dan jahat, namun hukumnya tetap berlaku dan
para sahabat mengikutinya dan sholat di belakang mereka….”
Berkata ‘Izz bin Abdis Salaam kitab Qawa’id Ahkam fi Mashalihil Anam
(1/107): “ Meluruskan kekuasaan seorang yang fasik bisa menjadi penyebab
kerusakan, karena pada umumnya itu berarti pengkhianatan dalam kekuasaannya,
namun kita benarkan juga pada imam yang fasik
dan penguasa yang fasik dimana dengan membatalkan kekuasaannya berakibat
hilangnya kemaslahatn yang umum.”
Beliau juga berkata (1/79) : “Adapun imam yang besar (Al-Imam A'dhom)
maka dalam pensyaratkan keadilan itu ada khilaf karena
lebih dikuasai oleh kefasikannya atas para penguasa, jika kita syaratkan
(adil, pent) maka akan hilang berbagai aktifitas yang sesuai dengan kebenaran
dalam memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang diberinya kekuasaan dari
kalangan para qadhi, amir (kepala-kepala daerah) dan pembantunya serta para
pemimpin dalam peperangan, maka ia akan mengambil apa yang menjadi haknya,
mencurahkan apa yang bisa diberikannya dan mengambil zakat dan harta secara
umum maupun khusus yang masih dalam koridor kekuasaannya, maka tidak
disyaratkan adil dalam langkah-langkah mereka yang sesuai dengan kebenaran,
karena dengan mensyaratkannya akan menimbulkan madharat secara umum, maka
hilangnya maslahat- maslahat ini lebih buruk dari pada hilangnya keadilan
penguasa.
Berkata Zakaria Al Anshari dalam kitab Al Ghirar Al Bahiyah Syarh
Bahjatul Wardiyah (5/217) : “Umat telah sepakat untuk merealisasikan hukum para
penguasa yang dzalim dan hukum dari orang yang diangkatnya sebagai penguasa.”
Saya katakan : Telah beredar buku-buku yang memuat akidah salafiyah,
bahwa diantara aqidah salafus shalih adalah merealisasikan haji, jihad dan yang
semisalnya di bawah kekuasaan pemimpin yang jahat, sebagaimana disebutkan dalam
kitab Lum’atul I’tiqad karya Abu Muhammad Al
Maqdisi (hal : 84) “Kami
berpendapat tentang tentang keharusan haji dan jihad karena mentaati setiap
imam, baik dia seorang yang baik atau jahat dan sholat jum’at di belakang
mereka adalah boleh.”
Tidak ada yang menyelisihi dalam hal ini kecuali orang-orang Khawarij,
Mu;tazilah dan Syi’ah, namun orang Khawarij berpendapat tentang tidak adanya
ketaatan kepada imam yang jahat karena menurut mereka ia adalah kafir. Oleh
karena mereka membolehkan untuk keluar (membelot/memberontak, pent) darinya
dengan kekuatan. Adapun orang Mu’tazilah bahwa mereka berada dalam kedudukan
antara muslim dengan kafir dan tidak mengakui akan kekuasaannya, bahkan mereka
mewajibkan untuk memeranginya untuk digantikan dengan imam yang adil
Maka akan anda dapati (mudah-mudaham Allah merahmatimu) sekelompok dari
para da’i yang mengaku dalam manhaj salafiyah, namun tanpa disadari telah
menempuh jalannya sebagian orang-orang mu’tazilah dari sisi tidak mengakui
kekuasaan sebagian para penguasa muslim pada masa sekarang ini sekalipun mereka
tidak mengkafirkannya.
Bahkan lebih dari itu mereka para da’i tadi dengan prinsip mu’tazilahnya
ini, membelot dengan ucapannya dengan cara yang samar untuk unjuk kekuatan
dalam rangka keluar dari ketaatan penguasa, dengan kekuatan yang bisa
memaksakan kepada para penguasa untuk
menghabisinya. Maka mereka mengumpulkan antara prinsip Mu’tazilah dan Khawarij
dan mereka dalam keadaan menyelisihi As Sunnah As-Shahihah dan kesepakat para
salafus shalih.
Telah berkata Al Khadimi dalam
kitab Bariqah Mahmudiyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah
(1/217) :
Berkata Qadhi Khan : “Kami diperintahkan untuk mentaati ulil amri, jika
menurunkan yang dzalim dan berkuasanya seorang yang adil itu akan berakibat
terjadinya berbagai kerusakan, pertumpahan darah dan fitnah yang besar. Oleh
karena inilah para salaf tunduk kepada penguasa yang fasik dan mendzalimi
mereka, mereka menegakkan jum’ah dan ied dengan seizin penguasa.
Saya katakan : Dan kami telah melihat sekelompok orang yang menisbatkan
diri mereka kepada dakwah Ahli Sunnah, namun ternyata mereka sengaja
menyelisihi penguasa dalam menegakkan hari lebaran, meskipun sebagai contoh
perbedaan ru’yah hilal antara Mesir dan Saudi Arabia . Maka anda dapati
orang-orang bodoh ini datang ke Mesir siang hari pada tanggal tiga puluh
ramadhan dan orang-orang berpuasa sementara mereka telah berbuka secara
terang-terangan di hadapan orang dengan alasan telah terlihat hilal di Saudi
Arabia, dan sebagian mereka telah mengadakan sholat ied sendiri dengan membuat
kericuhan dan fitnah.
Telah berkata Muhammad bin Yusuf bin Isa Athfiesy
dalam Syarhu Nail wa Syifa’ul Alil fi Fiqh Ibadhi (14/311) : telah berkata
Syaikh Yusuf bin Ibrahim, “Sesungguhnya
para ulama telah berbeda pendapat tentang keluar dari ketaatan para penguasa
yang dzalim, menjadi tiga pendapat :
1. Pendapat
Asy’ariyah : Haramnya keluar dari ketaatan atas mereka
2. Pendapat
Khawarij : Wajibnya keluar dari ketaatan atas mereka bagi yang lemah dan yang
kuat, bahkan sampai salah seorang dari mereka mengatakan :
Abu Khalid keluarlah dan kamu tidak akan kekal
Dan Allah tidak memberi udzur bagi orang yang duduk
Apakah kamu mengira seorang Khawarij di atas petunjuk
Sementara kamu tinggal diantara orang maksiat dan pendurhaka
3. Pendapat
kawan kami (yakni Ibadhiyah) : Bolehnya kedua-duanya.
Dia juga mengatakan (14/343) : Jika imam mengada-ada dan memerangi,
sementara kaum muslimin punya kekuatan, maka boleh membunuhnya dan menggantinya
dengan yang lain, sebagaimana yang mereka lakukan kepada Utsman radhiyallahu
‘anhu, dan jika tidak mampu mengalahkannya maka tidak boleh membunuhnya sampai
mereka mengangkat seorang imam untuk berperang bersamanya sebagaimana yang
dilakukan Ahli Nahrawan terhadap Ali radhiyallahu ‘anu.”
Saya katakan : Ini adalah prinsip Ibadhi Khawarij yang telah mengakar
pada sebagian pemuda di bumi Haramain,
sehingga anda bisa mendapati sebagian dari mereka ketika merasa memiliki
kekuatan atau kesempatan, mereka mulai mempersiapkan untuk memerangi penguasa,
mudah-mudahan Allah ta’ala menyelamatkan mereka dan memperbaiki
langkah-langkahnya. Ini jelas olehmu wahai orang yang mencari petunjuk!! Jelas
sekali perbedaan antara da’wah salafiyah dan da’wah bid’iyyah, dan dengannya
memungkinkan kamu untuk membongkar kedok para pengekor da’wah bid’iyah ini
dengan menguji salah seorang dari mereka dengan beberapa pertanyaan berikut ini
:
Apakah kamu menganggap sah imamahnya para pemimpin
negeri-negeri Islam yang mereka menampakkan Islam dan menegakkan sebagian
syi’ar-syi’arnya, hanya mereka melakukan sebagian tindak kejahatan dan
kedzaliman dan terkadang sebagian mereka berhukum dengan hal-hal yang
menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah? Apakah kamu berpendapat akan wajibnya
mentaati mereka dan haramnya khuruj (memberontak/membelot) atas mereka??
Jika dia menjawab kepadamu dengan tanpa keraguan: Ya, demikianlah
sunnahnya dan itu pula yang dikerjakan salafus shalih, maka ketahuilah bahwa
dia itu seorang sunni salafy, rekatkan kedua tanganmu kepadanya, dan sangat
jarang ditemui orang yang semisalnya.
Jika dia ragu-ragu dalam menjawab, memelintir dan berputar ke sana
kemari, kemudian menjawab : " Terdapat berbedaan pendapat diantara para
ulama tentang masalah ini atau keadaan para penguasa sekarang berbeda dengan
keadaan para imam yang dzalim yang para salaf berfatwa akan haramnya menentang
mereka, sekalipun kami tidak mengkafirkannya namun kami berpendapat tidak
adanya wilayah atas mereka karena sikap adil merupakan syarat sahnya
wilayah." maka ketahuilah bahwa dia ini mu’tazili yang mengikuti hawa
nafsu dan lebih condong kepada prinsip Khawarij.
Jika dia menjawabmu dengan keras dan kasar : " Mereka itu bukan
muslimin karena tidak berhukum dengan hukum Allah mereka memberi loyalitas
kepada orang-orang kafir, tidak ada bagi kami ketaatan kepadanya, bahkan wajib
untuk menyusun kekuatan untuk memerangi dan membersihkan mereka dengan
kuat," maka ketahuilah bahwa dia itu Khawarij, jauhkan kedua tanganmu
darinya karena sesungguhnya dia orang yang suka menyulut api perang.
Ada pula orang-orang yang mengikuti prinsip Ibadhiyah dan Syi’ah dalam
taqiyah, maka kamu dapati sekelompok orang yang memiliki kedudukan resmi di
badan instansi resmi dan Negara-negara
Islam mereka menampakkan ketaatan kepada para penguasa karena takut akan
kedudukan mereka, namun dalam majelis-majelis khusus mereka mencela dan
melaknat penguasa bahkan terkadang mengkafirkannya, meyakini bahwa kekuasaan
mereka tidak sesuai syari'at, lalu dalam kegelapan malam mereka merencanakan
untuk membersihkan penguasa dan merampas kekuasaan dari mereka. Kelompok ini
adalah kebanyakan dari Ikhwanul Muslimin yang telah menyimpang atau orang-orang
yang sudah melangkah kepada tahapan untuk menjadi seorang hizbi.
Berkata Imam Al Ajuri dalam kitab Asyari’ah (hal 40) : “Siapapun yang
menjadi penguasamu, baik itu orang Arab atau yang lainnya, berkulit hitam atau
putih atau ajam (non Arab) maka taatilah selagi tidak bermaksiat kepada Allah,
sekalipun medzolimi hakmu, sekalipun memukulmu dengan kedzaliman, menjatuhkan
harga dirimu dan merampas hartamu, janganlah hal itu menyebabkan kamu
mengeluarkan pedangmu untuk membunuhnya, jangan membangkang bersama seorang
Khawarij untuk membunuhnya dan jangan memprovokasi orang lain untuk
membangkang, akan tetapi bersabarlah atasnya.”
Saya katakan : Bukan hal yang diragukan lagi bahwa kelompok-kelompok
hizbiyah ini jauh dari nasehat salafiyah dari Imam Al Ajurri ini, dimana dapat
dikatakan bahwa sebagian individu dari kelompok-kelompok ini, ketika dia ikut
andil dalam membunuh salah seorang penguasa kaum muslimin selama beberapa
tahun, ternyata yang menjadi pemicunya adalah karena penguasa ini memukulnya,
menjatuhkan harga dirinya dan merampas hartanya. Seandainya saja mereka
terdidik dalam didikan para ulama salafiyin, mereka akan mempelajari dari para
ulama seperti apa yang dikatakan oleh Imam Al Ajurri ini, dan dengan rahmat
Allah dan karunia-Nya mereka akan terjadi dari
membangkang kepada penguasa, yang akan berakibat kerusakan yang besar yang
tidak diridhai Allah ta’ala. Akan tetapi para pemuda ini terdidik oleh
buku-bukunya Sayid Qutub dan Al Maududy dan yang semisalnya dari para hizbiyin,
maka jadilah mereka khawarij masa kini.
Dan bau busuk qutbiyah maududiyah hizbiyah senantiasa mengundang para
pemuda untuk membangkang kepada para penguasa, berbuat keributan dan penculikan
baik dengan isyarat ataupun terang-terangan.
Berkata Al Ajurri (hal : 37) : “Telah saya sebutkan peringatan yang
banyak terhadap prinsip-prinsip Khawarij bagi orang yang dijaga oleh Allah Yang
Maha Mulia dari manhaj mereka, tidak mengikuti pemikiran mereka dan sabar
dengan kedzaliman penguasa dan kekasaran umara’ serta tidak melawan dengan
pedangnya, selalu berdo’a kepada Allah agar melenyapkan kedzaliman, mempersatukan
umat Islam dan mendo’akan penguasa dengan kebaikan, berhaji bersama mereka,
berperang bersama mereka menghadapi setiap musuh kaum muslimin, sholat jum’ah
dan dua hari raya bersama mereka, jika mereka menuntut untuk taat, merekapun
mentaatinya jika memungkinkan dan jika tidak maka meminta izin kepada mereka
dan jika mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ditaatinya. Apabila
terjadi fitnah di antara mereka maka tetap tinggal di rumahnya, menjaga lisan
dan tangannya, tidak terpancing dengan apa yang terjadi pada mereka juga tidak
membantunya untuk memfitnahnya, barang siapa yang memiliki sifat seperti ini
maka dia di atas jalan yang lurus insya Allah ta’ala.
Berkata Syaikhul Islam dalam kitab Minhajus Sunnah (3/390-392) ketika
menjelaskan prinsip imamah menurut Ahlu Sunnah, hal itu ketika beliau membantah
perkataan Ibnu Muthahir Rafidhi : “Semua yang membai’at Quraisy maka terikatlah
imamahnya dan wajib atas semua manusia untuk mentaati jika tidak diketahui
keadaannya sekalipun dalam puncak kefasikan, kekufuran dan nifaq.
Maka jawabannya dari beberapa sisi…. kemudian beliau menyebutkan empat
alasan, dan yang menjadi dalil adalah perkataan beliau : " Dan yang paling
benar menurut ahli hadits dan para fuqaha adalah pendapat yang pertama yaitu
supaya mentaatinya dalam ketaatan kepada Allah secara mutlak dan dilaksanakan
hukum dan sumpahnya jika dilakukannya dengan adil secara mutlak, sampai seorang
qadhi yang jahil dan dzalim dilaksanakan hukum dan pembagiannya dengan adil
berdasar pendapat ini, sebagaimana hal ini merupakan pendapat kebanyakan fuqaha’”. Sampai beliau mengatakan : “ Oleh
karena inilah, masyhur dari madzhab Ahli Sunnah, mereka tidak berpendapat akan
bolehnya membangkang kepada penguasa dan mengangkat pedang atasnya, sekalipun
ada kedzaliman pada mereka, sebagaimana hal itu banyak ditunjukan oleh
hadits-hadits yang shahih dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena
kerusakan dalam perang dan fitnah lebih besar dari pada kerusakan yang terjadi
karena kedzaliman mereka tanpa ada peperangan dan fitnah. Maka tidaklah menolak
kepada dua kerusakkan kecuali mengambil yang lebih ringan. Hampir-hampir tidak
didapati satu kelompok yang membangkang kepada penguasa, kecuali dalam
pembangkangannya itu ada kerusakan yang lebih besar dari kerusakan yang
dihilangkannya.
Kemudian beliau
berkata : Dalam shahih Muslim dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : " Akan ada para umara’
yang kamu mengetahui dan kamu mengingkari, barang siapa mengetahuinya maka akan
berlepas diri dan barangsiapa mengingkari maka akan selamat, namun siapa yang
ridha dan taat”. Para sahabat bertanya :
Tidakkah kita perangi mereka? Beliau menjawab : “Jangan, selagi mereka masih
menegakkan shalat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk
memerangi mereka padahal beliau mengabarkan bahwa mereka mengerjakan
perkara-perkara yang mungkar, hal ini menunjukkan tidak bolehnya
mengingkari kemungkarannya dengan pedang seperti pendapatnya orang-orang yang
mengingkari penguasa dari kalangan Khawarij, Zaidiyah, Mu’tazilah dan
sekelompok dari para fuqaha serta yang lainnya.
Dalam shahihain
dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallau’anhu berkata : Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda kepada kami : “Sesungguhnya kalian akan melihat
sepeninggalku kekacauan dan perkara-perkara yang kalian mengingkarinya.” Para sahabat bertanya : Apa yang engkau perintahkan
kepada kami” Beliau menjawab : “Kalian penuhi hak yang menjadi kewajiban atas
kalian dan mintalah kepada Allah akan hak kalian sendiri.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghabarkan bahwa para penguasa
berbuat dzalim dan melakukan hal-hal yang mungkar, namun demikian beliau
memerintahkan kita untuk memenuhi hak-hak mereka dan memohon kepada Allah akan
hak-hak kita, beliau tidak mengizinkan untuk menuntut hak dengan peperangan dan
tidak memberikan keringanan untuk tidak menunaikan hak mereka.
Dalam shahihain dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda : “Barang siapa yang melihat amirnya berbuat sesuatu yang tidak
disukainya maka bersabarlah, sesungguhnya barang siapa yang menyimpang dari
jama’ah satu jengkal kemudian dia mati, maka sesungguhnya dia mati jahiliyah.”
Dalam lafadz lain : “Barang siapa yang menentang kepada penguasa satu jengkal
kemudian mati, maka matinya jahiliyah.” Dan lafadznya lafadz Imam Bukhari.
Telah berlalu dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
menyebutkan bahwa mereka adalah kaum yang mengambil petunjuk dengan selain
petunjuknya dan mengambil selain
sunnah-sunnahnya, maka Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu bertanya : Apa yang mesti
saya kerjakan ya Rasulallah, ketika mendapati hal itu? Beliau menjawab :
“Mendengar dan taatlah kepada amir, sekalipun ia memukul punggungmu dan
merampas hartamu maka dengar dan taatilah!!” inilah adalah perintah untuk taat
dengan kedzaliman seorang amir.
Telah berlalu sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam : “Barang siapa
yang diperintahkan oleh seorang wali yang dia melihatnya melakukan sesuatu
maksiat kepada Allah maka bencilah apa yang dilakukannya dari maksiat kepada
Allah dan jangan melepaskan ketaatan dari padanya.” Dan ini adalah larangan
untuk keluar dari penguasa sekalipun berbuat maksiat.
Dan telah berlalu haditsnya Ubadah radhiyallahu ‘anhu : “Kami membaiat
Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mendengar dan taat dalam suka dan
duka kami, dalam kesulitan dan kemudahan kami, dan atas apa yang merugikan kami
serta supaya kami jangan mencopot kekuasaan orang yang menjadi haknya.” Beliau
bersabda : “ Kecuali jika kamu melihat padanya kufur yang jelas, bagimu ada
petunjuk dari Allah.” Dalam riwayat lain : “ Dan supaya kami mengatakan
(menegakkan) kebenaran di manapun kami berada, kami tidak takut karena Allah
terhadap pencelaannya orang-orang yang mencela.” Dan ini adalah perintah untuk
taat bersamaan dengan adanya tekanan dari penguasa yang ini merupakan
kedzaliman darinya, juga larangan untuk mengusik-usik kekuasaannya dan ini
adalah larangan untuk keluar dari ketaatan terhadapnya. Karena hak kekuasaan
itu adalah milik mereka para penguasa yang kita diperintahkan untuk mentaati
mereka, dan merekalah yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dengannya. Bukan
yang dimaksudkan orang yang berhak untuk diberi kekuasaan namun tidak memiliki
kekuasaan, juga bukan orang yang berhak menjadi wali yang adil, karena telah
disebutkan bahwa mereka para penguasa itu menekan, yang menunjukkan larangan
untuk melepaskan dari kekuasaannya sekalipun memberi tekanan, dan ini masalah
yang sangat luas !
Saya katakan : Dan dengan penjelasan yang gamblang dan rinci dari syaikh
Ahli Sunnah wal Jama’ah tentang aqidah salafus shalih dalam masalah keimamahan
seorang yang fasik atau dzalim ini, telah melepaskan (memberi jalan keluar)
secara sempurna dari pernyataan orang-orang hizbiyin untuk mencocoki prinsip
mereka yang rusak untuk keluar dari penguasa kaum muslimin dengan sebagian
perkataan Syaikhul Islam yang tersamar oleh mereka. Hal itu ketika mereka
mendudukan sebagian perkataan Syaikhul Islam akan wajibnya memerangi golongan
yang menghalangi salah satu syari’at sehingga mereka dapat keluar dari penguasa
yang tidak mempraktekan sebagian hukum-hukum syar’i seperti hukum qishas, (yang
keluarnya baik) dengan lisan maupun dengan tangan mereka.
Hal ini merupakan kebodohan dan kedunguan
mereka :
Pertama : Bodohnya mereka dari
makna perkataan Syaikhul Islam akan wajibnya memerangi sekelompok yang
menghalangi (syari’at). Kewajiban ini adalah tergantung pada orang yang
memiliki kekuatan dan kekuasaan dari para penguasa dan umara’, tidak bergantung
pada individu masing-masing atau dengan partai-partai mereka yang kacau.
Kedua : Kedunguan mereka dari apa yang telah kami nukilkan dari kitab Minhajus
Sunnah. Kedunguan seperti ini dan dalam ucapan yang seperti ini dengan
menampakkan perkataan yang lain yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka ini
merupakan salah satu tanda dari tanda-tanda pengikut hawa nafsu yang mereka
hanya menyebutkan sesuatu yang membela kemauan mereka[3] dan
menyimpan sesuatu yang menghancurkan mereka serta menyembunyikannya.
Telah dinukilkan ijma’ dari
sekelompok ulama akan wajibnya taat kepada penguasa yang menang, dengan apa
yang ada padanya (dari kerusakan) selain dari yang kita sebutkan, diantara
mereka adalah :
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul
Bari (7/13) : “ Para fuqaha telah sepakat akan
wajibnya taat kepada penguasa yang menang dan wajibnya berjihad bersamanya,
mentaatinya lebih baik dari pada keluar memusuhinya, dimana hal itu akan
meredam mengalirnya darah dan menenangkan kericuhan.”
Berkata Imam Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim ( 12/222 ) : “ Para ulama
sepakat akan wajibnya taat kepada para penguasa dalam hal yang tidak maksiat.”
Berkata Ibnu Qudamah dalam kitab Al
Mughni (9/5) : “ Dan kesimpulan dalam perkara ini bahwa barang siapa yang telah
disepakati oleh kaum muslimin akan kekuasaan dan bai’at maka tetaplah
keimamahannya dan wajib untuk mendukungnya dengan (berdasarkan) dalil apa yang
telah kami sebutkan dari hadits dan ijma’. Artinya barang siapa yang tetap
keimamahannya pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau sesudahnya untuk
menjadi imam maka diterima. Karena sesungguhnya Abu Bakar ditetapkan
kepemimpinannya dengan ijma’para sahabat untuk membai’atnya dan Umar ditetapkan
kepemimpinannya pada masa Abu Bakar dan para sahabat sepakat untuk menerimanya.
Dan jika ada seseorang yang keluar dari penguasa dan bisa mengalahkannya dan
menundukkan manusia dengan pedangnya sehingga mereka mau mengakuinya dan tunduk
taat kepadanya serta mengikutinya maka jadilah dia imam yang haram untuk
diperangi dan keluar dari ketaatan kepadanya. Karena sesungguhnya Abdul Malik
bin Marwan membelot dari Ibnu Zubair dan berhasil membunuhnya serta menguasai
negeri dan penduduknya sehingga mereka mau membai’atnya dalam suka atau tidak
suka, maka akhirnya dia menjadi imam yang diharamkan untuk keluar darinya, hal
itu karena akibat keluar dari ketaatan akan memecah belah persatuan umat,
mengalirkan darah mereka dan hilangnya harta mereka. Maka barang siapa yang
keluar dari ketaatan terhadap orang yang telah ditetapkan kekuasaannya dengan
salah satu dari sisi ini dengan pembangkangan maka wajib untuk diperangi.”
Berkata Abul Hasan Al Asy’ari dalam kitab Risalah ila Ahli Tsaghr ( 296)
: “ Dan mereka sepakat untuk mendengar dan mentaati para penguasa kaum
muslimin, dan bahwasanya siapapun yang menguasai sesuatu dari urusan mereka
karena ridha atau menang dan berlangsung ketaatannya dari seorang yang baik
atau jahat, maka tidak boleh keluar dari mereka baik dia berbuat dzalim ataupun
berbuat keadilan dan hendaknya melawan musuh bersamanya, haji ke Baitullah
bersamanya, membayar zakat kepada mereka ketika mereka memintanya dan hendaknya
melakukan sholat jum’at dan hari raya di belakang mereka.”
Berkata Imam Thahawi dalam menjelaskan Ahlu Sunnah wal Jama’ah : “ Kami
tidak berpendapat untuk keluar dari para imam dan penguasa kami sekalipun
mereka berbuat jahat, dan tidak mendo’akan keburukan atas mereka, tidak
melepaskan ketaatan atas mereka. Dan kami berprinsip bahwa mentaati mereka
termasuk taat kepada Allah yang wajib selagi tidak memerintahkan kepada maksiat
dan kita mendo’akan mereka dengan kebaikan dan ampunan.”
Berkata Ahmad bin Musrif Al Ihsa’i Al Maliki dalam muqadimah ba’it
sya’irnya dari Risalah Ibnu Abi Zaid Al Qairawaany :
Mentaati ulil amri adalah wajib
dari para pemimpin, ahli ilmu dan umara’
Kecuali jika menyuruh maksiat
suatu hari, maka tiada ketaatan atas mereka
Termasuk diantara masalah-masalah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menyelisihi orang-orang jahiliyah adalah apa yang disebutkan oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhaab pada masalah yang ketiga dari risalah Masa’il
Jahiliyah : Bahwa menyelisihi penguasa dan tidak tunduk kepadanya adalah
merupakan keutamaan dan tunduk serta taat kepadanya adalah merupakan kehinaan
dan kerendahan, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menyelisihi mereka dan memerintahkan untuk sabar
akan kedzaliman penguasa, memerintahkan untuk taat dan mendengar kepada mereka
serta menasehatinya, bahkan beliau keras dan menampakkan dalam masalah ini
serta mengulanginya.”
Berkata Syaikh Shalih Al Syaikh hafidhahullah dalam Syarh Masa’il
Jahiliyah : “Maka ini merupakan dasar pokok yang agung” Beliau berkata : Bila
Nabi menampakkannya dan mengulanginya serta keras dalam masalah itu, yang mana
termasuk dari kekerasannya adalah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
: “Dengar dan taatilah sekalipun memukul punggungmu dan merampas hartamu maka
dengar dan taatlah” Mengapa? Karena merampas harta dan menyiksa, kerusakannya
hanya kembali kepadamu dan kamu akan bertemu dengan Rabbmu yang memberi qishas
untukmu, namun jika kamu tidak taat maka kerusakannya akan kembali kepada
manusia (secara umum) dan akhirnya terjadi perpecahan dan perselisihan dan
tentunya tidak akan terjadi persatuan dalam agama.
Di Jazirah ini dahulu sebelum da’wahnya Syaikh ( Muhammad bin Abdul
Wahhab, pent) manusia bercerai berai, masing-masing berada pada posisinya. Di
wilayah timur jazirah Arabia mereka mengikuti agamanya Utsmaniyah, sementara di
wilayah barat mengikuti para Asyraf (Alawiyin) dan di bagian tengah (yakni Najd ) tidak berada dalam satu kekuasaan, namun
masing-masing daerah memiliki amir dan masing-masing amir ditaati oleh
penduduknya. Dan ketika itu banyak terjadi peperangan yang kamu tidak
mengetahuinya, sampai dalam satu hari di suatu desa yang dekat dengan Riyadh terbunuh empat
orang. Yang ketika itu dia yang pertama adalah seorang amir kemudian seseorang
membunuhnya dan berkuasa, kemudian dia dibunuh oleh orang ketiga dan berkuasa,
kemudia dia dibunuh oleh orang keempat dan berkuasa,hanya dalam waktu satu hari
yang semuanya adalah desa yang penduduknya tidak lebih dari seratus orang jika
banyak.
Maka Allah Ta’ala memberi kenikmatan kepada negeri ini dengan dakwah
tauhid, sehingga bersatulah manusia dan agama serta dunia mereka. Dan bukanlah
hal yang meragukan bahwa perpecahan dalam masalah dunia akan memberi dampak
perpecahan dalam agama dan perpecahan dalam agama akan memberi pengaruh dalam
perpecahan masalah dunia. [4]
Berkata Syaikh Abdussalaam bin Barjas dalam kitab Muamalah Hakim (6-12)
: Perhatian para salaf dalam masalah ini telah membawa bentuk yang
bermacam-macam yang telah sampai kepada kita, dan paling jelas dan baik adalah
apa yang telah dilakukan oleh Imam Ahmad Imam Ahli Sunnah rahimahullah dimana
beliau merupakan teladan dalam bermuamalah dengan para penguasa.
Para penguasa pada
masanya telah mengadopsi pemikiran yang buruk dan memaksa rakyatnya dengan
kekuatan dan pedangnya serta telah mengalirkan darah banyak ulama karena masalah ini dan mewajibkan
rakyatnya untuk mengatakan Al Qur’an adalah makhluk, bahkan hal itu ditetapkan
dalam majelis-majelis pendidikan anak-anak…..dan seterusnya dari bencana dan
musibah. Namun demikian Imam Ahmad tidak terseret dengan hawa nafsunya dan
tidak mengandalkan kekuatan perasaannya dan tetap kokoh di atas As Sunnah
karena hal itu lebih baik dan lebih mendapat petunjuk. Maka beliau
memerintahkan untuk taat kepada penguasa dan menyatukan masyarakat di atas
ketaatan ini, beliau berdiri kokoh ibarat sebuah gunung yang menjulang siap
menghadapi orang-orang yang ingin menyelisihi manhaj nabawi dan jalan yang
murni ini dari ikatan Al Kitab dan As Sunnah atau prinsip revolusi yang
merusak.
Berkata Hambal rahimahullah ta’ala : “ Para fuqaha Baghdad berkumpul mendatangi Abu Abdillah
(yakni Imam Ahmad) pada masa kekhalifahan Al Watsiq, mereka berkata kepadanya :
Sesungguhnya permasalahan sudah menyebar dan sampai pada puncaknya (yakni
munculnya perkataan : Al Qur’an makhluk) dan yang lainnya, kami tidak rela
dengan kekuasaannya dan pemerintahannya. Maka beliau mengajak berdiskusi dalam
masalah ini dan mengatakan kepada mereka : Wajib bagi kalian untuk
mengingkari dengan hati kalian dan jangan melepaskan ketaatan darinya, jangan
memecah belah persatuan umat Islam, jangan alirkan darah kalian bersama dengan
darah kaum muslimin, lihatlah akan akibat perkara kalian ini, bersabarlah
sampai seorang yang baik bisa tenang dan ditenangkan
dari orang yang jahat. Beliau berkata : Bukanlah hal ini
(melepaskan ketaatan) suatu kebenaran. Ini menyelisihi As Sunnah.
Ini gambaran yang paling mengerikan yang dinukil oleh orang-orang yang
menukilnya, yang menjelaskan praktek amal dari manhaj Ahli Sunnah dalam masalah
ini, seperti apa yang dibawakan dalam kitab As Sunnah karya Imam Al Barbahari
rahimahullah ta’ala dimana beliau berkata: “ Jika kamu melihat seorang yang
mengajak untuk melawan kepada penguasa maka ketahuilah dia adalah pengikut hawa
nafsu. Dan jika kamu mendengar seorang mendo’akan penguasa dengan kebaikan maka
ketahuilah dia adalah pengikut As Sunnah insya Allah ta’ala.”
Berkata Fudhail bin Iyadh rahimahullah : “ Seandainya saya memiliki
do’a (yang pasti dikabulkan) maka akan saya berikan untuk penguasa. Kita
diperintahkan untuk mendo’akan kebaikan kepadanya dan dilarang mendo’akan
keburukan sekalipun mereka berbuat jahat dan dzalim, karena kedzaliman dan
kejahatan mereka kembali kepada mereka dan kaum muslimin sedangkan kebaikan
mereka kembali kepada mereka dan kaum muslimin.”
Dan yang paling penting untuk diketahui bahwa kaidah salaf dalam hal ini
semakin menambah perhatian dengan masalah setiap kali bertambah kebutuhan umat
kepadanya. Demi membendung pintu fitnah dan membungkam
jalan keluar untuk menentang kepada penguasa yang merupakan asal pokok
kerusakan dunia.
Dan kaidah telah kokoh ini dengan apa yang ditulis oleh para Imam dakwah
Najdiyah, ketika sebagian pemikiran yang menyimpang ini mulai menyusup kepada
sekelompok orang yang kepadanya disandarkan sifat kebaikan dan keshalihan.
Mereka telah banyak menetapkan masalah ini dan mengulang-ulangi penjelasannya untuk
memberikan dasar-dasar akan syubhat yang merambah ini. Mereka tidak mencukupkan
dengan satu kata saja dan dengan ketetapan dari satu orang saja dari mereka
akan perkara yang berbahaya ini, karena sesungguhnya mereka mengerti bahwa hal ini terjadi akibat kebodohan akan masalah
ini dari bencana dan keburukan yangmenguasainya.
Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Al Syaikh rahimahumullah
telah berkata, dalam perkataan yang kuat, dimana beliau berusaha untuk
mengungkap syubhat yang merancukan masalah ini dan beliau membantah kepada
orang membelanya dari kalangan para juhal (orang-orang bodoh) : “ Mereka
orang-orang yang terfitnah itu tidak sadar jika kebanyakan penguasa Islam dari
semenjak Yazid bin Mu’awiyah (kecuali Umar bin Abdul Aziz dan orang-orang yang
Allah kehendaki dari Bani Umayah) telah timbul dari mereka kedurjanaan dan peristiwa-peristiwa yang
besar, pembangkangan dan kerusakan dalam wilayah negeri Islam, namun demikian
sejarah para ulama Islam dan Imam-Imamnya bersama mereka sangat jelas dan
masyhur, tidak pernah mereka melepaskan dari ketaatan dengan apa yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dari syari’at Islam dan kewajiban-kewajiban
agama.
Saya berikan contoh dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, dia telah
terkenal pada umat dengan kedzaliman, kejahatan, berlebihan dalam mengalirkan
darah serta melanggar hukum-hukum Allah dan telah terbunuh orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh umat
seperti Sa’id bin Jubair. Dan dia juga telah mengepung Abdullah bin Zubair,
padahal dia telah berlindung di Masjidil Haram yang mulia, dia menghalalkan
kehormatan dan membunuh Ibnu Zubair padahal Ibnu zubair telah dibai’at oleh
seluruh penduduk Makkah, Madinah, Yaman dan sebagian besar dari penduduk Iraq.
Sementara Hajjaj hanyalah wakil dari Marwan dan anaknya Abdul Malik, tidak ada
seorangpun dari para khalifah yang menjadikan dia sebagai pengganti dan belum
dibai’at oleh ahli hil wal ‘aqd.
Namun demikian tidak ada seorangpun dari para ulama yang menghentikan
ketaatan dan ketundukkan kepadanya dari apa yang harus ditaati dari rukun Islam
dan kewajiban-kewajibannya.
Dan Ibnu Umar serta para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang mendapati Hajjaj ini, tidak membangkang dan tidak melarang untuk
menaatinya dengan apa yang ditegakkan dari Islam dan menyempurnakan Iman.
Demikian pula orang-orang yang ada di zamannya dari para tabi’in,
seperti Sa’id bin Musayyib, Hasan Al Bashri, Ibnu sirin, Ibrahim At Taimi dan
yang semisalnya dari para tokoh umat ini.
Dan hal ini terus berkelanjutan di antara para ulama umat dari tokoh dan
para imam, mereka memerintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan-Nya bersama dengan setiap imam yang baik atau jahat,
sebagaimana hal ini merupakan sesuatu yang ma’lum tercatat dalam kitab-kitab usuludin
dan aqidah.
Demikian pula Bani Abbasiyah mereka menguasai negeri-negeri Islam dengan
paksaan pedang dan tidak ada seorangpun
dari para ulama dan ahli agama yang mendukung, mereka yang telah
membunuh sejumlah besar dari Bani Umayyah, para amir dan wakil-wakilnya. Mereka
membunuh Ibnu Hubairah gubernur Iraq, mereka membunuh khalifah Marwan, sampai
diriwayatkan bahwa seorang algojo dalam sehari membunuh kurang lebih delapan
puluh orang dari Bani Umayyah dan diletakkan tikar di atas bangkai mereka, kemudian
(mereka orang-orang Bani 'Abbasiyah) duduk-duduk di atasnya dan dihidangkan
makanan dan minuman padanya.
Namun demikian sejarah para ulama seperti Al Auza’i, Imam Malik, Az
Zuhri, Laits bin Sa’ad dan Atha’ bin Abi Rabah bersama dengan para penguasa itu
bukanlah hal yang samar bagi orang yang mempunyai ilmu dan mau membaca.
Dan tabaqat kedua dari para ulama seperti Ahmad bin Hambal, Muhammad bin
Ismail, Muhammad bin Idris, Ahmad bin Nuh dan Ishaq bin Rahuyah serta
saudara-saudara mereka… telah terjadi pada masa mereka pada para penguasa
bid’ah-bid’ah yang besar dan pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah, mereka
mengajak kepada bid’ah ini dan mengujinya, dan
telah terbunuh dari orang-orang yang terbunuh seperti Muhammad bin Nashr. Namun
demikian tidak diketahui seorangpun dari mereka yang melepaskan ketaatan dan
mengajak untuk menentang kepada mereka.
Dan perkataan para imam da'wah rahimahumullah dalam masalah ini banyak
sekali, bisa anda lihat diantaranya dalam juz yang ke tujuh dari kitab Durrar
Saniyah fil Ajwibatin Najdiyyah.
Semua ini menguatkan betapa pentingnya perhatian terhadap pokok aqidah
ini dan memantapkannya ketika kebodohan telah berkuasa atau menyebarnya
pemikiran yang menyimpang dari manhaj Ahli Sunnah ini.
Bukan hal yang diragukan lagi bahwa di zaman yang kita hidup padanya
sekarang ini, telah terkumpul dua hal yaitu : Berkuasanya kebodohan dalam
masalah ini dan menyebarnya pemikiran yang menyimpang. Maka kewajiban para ahli
ilmu dan para penuntut ilmu agar komitmen dengan ikatan yang telah diambil
janji oleh Allah ta’ala atas mereka dalam firman-Nya :
{ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَتَكْتُمُونَهُ }ال عمران : 187
"Hendaklah kamu
menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya,"(Ali Imran : 187)
Maka hendaknya mereka menjelaskan dasar akidah ini kepada manusia ,
dengan mengharap kepada Allah dan mengikhlaskan amal perbuatan untuk-Nya dan
jangan menghalangi mereka yang menjelaskan syubhat-syubhat yang menyebar ini
yang telah mempengaruhi dan memprovokasi orang-orang yang bukan ahlinya.
Seperti perkataan sebagian mereka : " Siapa yang akan mengambil
manfaat dengan menjelaskan permasalahan ini?" (Pernyataan tersebut)
memberi isyarat bahwa yang akan mengambil manfaat hanya para penguasa saja.
Maka ini adalah kebodohan yang berlebihan dan kesesatan yang nyata, dimana ia
bersumber dari buruknya keyakinan tentang dalam kewajiban terhadap penguasa
yang baik ataupun yang dzalim. Padahal manfaat ini akan dirasakan oleh semua,
sebagaimana tidak samara bagi anak-anak apalagi selain mereka (perbedaan)
antara penguasa dan rakyat, bahkan rakyat akan merasakan manfaat lebih banyak
dari penguasa.
Seperti sebagian perkataan mereka : Sesungguhnya berbicara masalah ini
bukan sekarang waktunya!! Subhaanallah, kalau begitu kapan waktunya?! Apakah
berbicara masalah ini jika kepala sudah melayang dan darah sudah mengalir!?
Ataukah ketika keonaran sudah meraja lela dan telah hilang rasa aman?!
Sesungguhnya pembicaraan tentang masalah ini harus intensif dari para
ulama dan penuntut ilmu khususnya pada saat-saat ini, karena telah terjadi
kesalah pahaman pemikiran pada sekelompok orang dalam masalah ini, yang telah
menyeret kendali sekelompok orang yang memiliki pemikiran yang rancu. Maka
mereka telah membuat kerusakan yang parah dan telah membuat gangguan terhadap
aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah dalam masalah yang berbahaya ini dengan apa yang
mereka lemparkan berupa syubhat-syubhat yang merusak sampai membalikkan fitrah
sebahagian orang awam
Dan janganlah anda tertipu dengan adanya orang-orang yang mengingkari
mereka-mereka ini, dengan mengatakan : Sesungguhnya permasalahan ba’iat,
mendengar dan taat tidak ada seorangpun yang akan meragukannya ! Maka
sesungguhnya dia adalah salah satu dari dua orang : Mungkin dia seorang yang
bersembunyi dari kedok aslinya yang khawatir akan terbongkar atau dia dari
kalangan orang yang tidak tahu akan apa yang terjadi pada manusia.
Maka bertaqwalah kepada Allah ta’ala wahai orang-orang yang menyebarkan
berita bohong !! Dan hendaknya kalian berhenti dari menghalangi manusia dari
jalan Allah karena membela kepada kelompok mereka atau membuat keonaran dengan
prinsip mereka yang rusak dengan syubhat-syubhat kosong seperti ini!![5]
APA YANG DI MAKSUD DENGAN BAI’AT ?
DAN KAPAN ?
Bai’at secara istilah adalah : Berjanji untuk taat, seakan-akan seorang
yang berbai’at berjanji kepada amirnya untuk menyerahkan urusan dirinya dan
kaum muslimin, serta tidak mengganggunya sedikitpun. Dia mentaatinya pada apa
yang diperintahkan amir dan menjadi
tanggung jawabnya dalam keadaan suka atau tidak suka. Dahulu ketika mereka
membai’at amir dan mengikatkan janjinya, mereka menjadikan tangan mereka di
atas tangannya (amir) untuk menguatkan janjinya, sehingga hampir menyerupai
perbuatan antara penjual dan pembeli, kemudian dikatakanlah bai’at, dari kata
dasar بَاعَ . Yang akhirnya bai’at berarti bersalaman
tangan, inilah yang ditunjukan dalam pengertian bahasa dan syari’at.[6]
Hal itu tidak terjadi secara syar’i dan adapt
kecuali bagi seorang penguasa muslim yang mungkin memiliki dedikasi dan
tanggung jawab, yang menjadikan dia mampu untuk menegakkan agama,
merealisasikan hukum Islam, menegakkan undang-undang syar’i, mengumumkan perang
dan mengadakan perdamaian serta yang lainnya dari hal-hal yang merupakan
kekhususan bagi penguasa muslim di suatu negeri dari negeri-negeri Islam.
Maka bai’at berarti : memberikan sumpah setia untuk
mendengar dan taat kepada amir dalam suka dan duka, dalam kesulitan dan
kemudahan, tidak mencampuri urusannya dan menyerahkan segala urusan kepadanya.[7]
Berkata Imam Syaukani dalam kitab Sailul Jirar (4/480-481) : Caranya
(yakni bai’at) agar berkumpul sekelompok dari ahli hil wal ‘aqdi dan
mengukuhkan bai'at baginya ….. dan yang sah adalah terjadinya bai’at untuknya
(imam) dari ahli hil wal ‘aqdi, maka inilah perintah selanjutnya harus ditaati,
ditetapkan kekuasaan baginya dan diharamkan untuk menyelisihi. Hal ini telah
ditegakkan padanya dalil dan hujjahnya telah kokoh, dan Allah telah mencukupkan
dari bangkit dan bepergian serta menempuh perjalanan yang jauh dengan
dibai’atnya orang-orang yang membai’at imam dari ahli hil wal ‘aqdi, maka cukup
keimamahannya ditetapkan dengannya,dan wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk
mentaatinya. Dan bukan merupakan syarat ketetapan imam untuk dibai’at oleh
semua orang yang bisa membai’atnya juga bukan merupakan syarat untuk taat agar
seseorang itu termasuk dari orang yang ikut berbai’at. Maka sesungguhnya
persyaratan dalam dua hal itu adalah tertolak dengan ijma’ kaum muslimin yang
dahulu dari mereka dan yang datang kemudian, yang pertama dan terakhir.
Saya katakan : Disebutkan dalam
hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma marfu’ : “Barang siapa yang melepaskan
ketaatan, maka dia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dengan tidak
memiliki alasan, dan barang siapa yang mati dan di lehernya tidak ada bai’at,
maka matinya mati jahiliyah.” [8]
Syaikh Shalih Al Fauzan
hafidhahullah ditanya : Apakah bai’at itu wajib, atau sunnah atau mubah ? Dan
apa kedudukan bai’at dari jama’ah, mendengar dan taat ?
Maka beliau menjawab : “Wajib bai’at
kepada waliyul amri untuk mendengar dan taat ketika dia dijadikan imam bagi
kaum muslimin dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Dan yang membai’atnya dalah
para ahli hil wal ‘aqdi serta para tokoh, dan selain dari mereka dari rakyat
maka mengikutinya. Yang wajib bagi mereka adalah taat dengan bai’at mereka dan
bai’at ini tidak dituntut dari setiap individu rakyat dari kaum muslimin karena
umat Islam adalah satu jama’ah, yang tokoh serta ulama mereka telah
mewakilinya.
Inilah yang pernah ada di kalangan
salafus shalih dari umat ini, sebagaimana bai’atnya kepada Abu Bakar dan yang
lainnya dari penguasa kaum muslimin.
Bukanlah yang namanya bai’at dalam
Islam itu dengan cara-cara yang kacau yang dinamakan dengan pemungutan suara
(voting) yang dipakai di negeri-negeri kafir serta diikuti oleh sebagian dari
negeri-negeri Arab, yang dibangun di atas tawar menawar dan propaganda serta
kampanye yang dusta dan sering memakan korban dari orang-orang yang tidak
berdosa.
Adapun bai’at dengan cara-cara Islam
akan menghasilkan persatuan dan ikatan yang akan merealisasikan ketentraman dan
keamanan tanpa ada embel-embel atau persaingan yang sengit yang memberikan
beban kepada umat berupa rasa berat dan penat juga pertumpahan darah dan
sebagainya. [9]
Saya katakan : Diantara masalah
imamah dan bai’at yang mencuat di jaman kita ini, yang dengannya juga akan
tersingkap bagimu kedok dakwahnya pada hizbiyin adalah masalah berbilangnya
pemimpin dan penguasa, dimana setiap negeri atau daerah memiliki seorang
penguasa, maka apakah sah keimamahannya dan wajib bai’at kepadanya?
Telah berkata Amir As Shan’ani dalam kitab Subulus Salaam (2/374) ketika
menjelaskan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu : “Barang siapa yang
keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama’ah” Perkatannya “dari ketaatan” yaitu taat
kepada khalifah yang terjadi persatuan padanya, dan yang dimaksud “khalifah”
adalah khalifah suatu daerah, dimana manusia belum dapat dikumpulkan dalam satu
khalifah dari semua negeri Islam, sejak pertengahan Daulah Bani Abbasiyah,
bahkan setiap penduduk suatu daerah berdiri sendiri dengan pemimpin yang
mengurusi urusan mereka, karena kalau seandainya hadits ini dibawa kepada makna
khalifah yang berkumpul padanya semua umat Islam maka (hadits ini) sedikit
faedahnya.
Saya katakan : Adapun ijma’ yang dinukil tentang tidak bolehnya
menetapkan dua imam atau lebih bagi kaum muslimin dalam satu waktu, maka hal
ini jika disertai pilihan. Telah disebutkan dalam kitab Asybah wan Nadzha’ir
(527) : Tidak boleh berbilangnya imam/pemimpin dalam satu waktu.
Berkata Musthafa bin Sa’ad bin Abdah Ar Rahibani dalam kitab Mathalib
Ulin Nuha fi Syarh Ghayatil Muntaha (6/263) : “Tidak dibolehkan berbilangnya
imam karena akan berakibat adanya saling memboikot yang mengarah kepada adanya
pertengkaran, perpecahan dan terjadinya perselisihan pada beberapa sisi yang
hal ini akan menafikan stabilitas kondisi/keadaan.
Dan dalam Mausu’ah Fiqhiyah (21/43) : Kebanyakan para fuqaha berpendapat
tentang tidak bolehnya dua imam di dunia dalam satu waktu yang bersamaan,
dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam : “ Jika dibai’at dua
khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. Dan juga karena
berbilangnya negeri Islam merupakan sumber perpecahan dan perselisihan, dan
Allah Ta’ala telah melarang hal itu dengan firman-Nya :
﴿وَأَطِيعُوا اللهَ
وَرَسُولَهُ وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ﴾ [الأنفال: 46]،
“ Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu
“ (Al Anfaal : 46)
Dan dalam salah satu penafsiran bahwa yang dimaksud dengan “ Riih” dalam
ayat yang mulia itu adalah daulah (negara), sebagaimana dikatakan oleh Abu
Ubaid.
Dan dalam Hasyiyah Dasuki atas
kitab Syarhul Kabir (4/134-135) : Apa yang disebutkan oleh penulis tentang
bolehnya berbilangnya qadhi melekatkan larangan
berbilangnya imam a’dzham. Dan memang demikian sekalipun daerahnya
saling berjauhan karena memungkinkannya adanya yang mewakili. Dan ada yang
mengatakan bolehnya jika tidak memungkinkan ada perwakilan karena daerahnya
yang sangat berjauhan.
Saya katakan : Perkataan para ulama ini dimaksudkan pada sempurnanya
bai’at atas dua orang khalifah atau dua orang imam dalam satu waktu dengan
pilihan dari ahli hal wal ‘aqdi atau adanya seorang khalifah yang memiliki
kedudukan dan kekuasaan pada setiap negeri kaum muslimin, kemudian datang
seseorang yang merampas satu daerah negeri itu dan kemudian sempurna bai’at
kepadanya, maka inilah yang dimaksudkan oleh hadits : “ Bunuhlah yang terakhir
dari keduanya.” Adapun keadaan yang oleh negeri-negeri berupa bersendiriannya
seorang penguasa pada wilayah tertentu yang ia tidak punya kekuasaan pada
wilayah di sekitarnya, maka hal ini bukan yang dimaksud oleh hadits, dan tidak
juga oleh perkataan para ulama tentang tidak syar’inya keberadaan dua imam. Hal
ini bukan berarti rela dengan keadaan yang ada berupa perpecahan dan
pemilah-milahan negeri Islam menjadi negeri-negeri kecil, namun pembicaraannya
adalah tentang keabsahan imamah setiap penguasa dari setiap negeri kecil ini
dan sahnya perjanjian bai’at terhadapnya serta tidak bolehnya membangkang
darinya sampai akhir hukum yang telah kami paparkan dalam pasal ini.
Berkata Mawardi dalam kitab Adab Dunya wad Diin (136) : “Adapun tegaknya
dua imam atau tiga dalam satu masa dalam satu negeri maka tidak boleh secara
ijma’. Adapun jika dalam negeri yang berbeda-beda dan daerah yang berjauhan
maka sekelompok orang yang syadz telah berpendapat akan bolehnya. Hal ini
karena imam itu merupakan wakil yang memberi maslahat,
dia jika dua orang penguasa pada dua negeri atau dua daerah tertentu
masing-masing berkompeten terhadap daerah kekuasaannya. Dan juga karena ketika
bolehnya diutusnya dua orang Nabi dalam satu masa, yang hal tersebut tidak
mengantarkan kepada pembatalan kenabian dan tentunya masalah imamah lebih utama
(untuk dibolehkan,pent) dan hal itupun tidak membatalkan keimamahannya.
Berkata Imam Syaukani dalam Sailul Jirar (4/481-482) : Jika kepemimpinan
Islam khusus milik satu orang dan segala urusan kembali dan terkait dengannya,
sebagaimana pada masa sahabat dan tabi’in dan tabi’it tabi’in, maka hukum
syari’at pada orang yang kedua yang datang setelah sahnya pemerintahan orang
yang pertama, dia harus dibunuh jika tidak bertaubat dari penentangannya.
Adapun jika masing-masing dibai’at oleh sekelompok orang pada satu waktu, maka
tidaklah salah satu lebih berhak dari yang lainnya, bahkan wajib bagi ahli hal
wal ‘aqdi untuk memegang keduanya sehingga kekuasaan diberikan kepada salah
seorang dari keduanya. Jika tetap terjadi perselisihan antara keduanya maka
bagi ahli hal wal ‘aqdi supaya memilih salah satu dari keduanya yang lebih baik
bagi kaum muslimin.
Adapun setelah menyebarnya Islam dan meluasnya daerahnya serta semakin
berjauhannya sisi-sisinya, maka masing-masing daerah dipimpin oleh seorang
penguasa dan di tempat yang lain juga demikian, maka perintah maupun larangan
yang berlaku pada suatu daerah tidaklah dilaksanakan/diberlakukan pada
daerah-daerah lainnya, yang masing-masing kembali kepada penguasanya. Maka
tidaklah mengapa berbilangnya imam dan penguasa. Wajib untuk taat kepada
masing-masing setelah di bai’at oleh penduduk daerah yang padanya
direalisasikan perintah dan larangannya. Demikian pula halnya dengan penduduk
daerah lain. Maka jika ada orang yang menentang penguasa suatu daerah yang
sudah sah/diakui pemerintahannya dan sudah dibai’at, maka hukumnya ia harus
dibunuh jika tidak bertaubat, dan tidak wajib bagi penduduk daerah lain untuk
mentaatinya juga tidak wajib untuk masuk dalam pemerintahannya karena daerahnya
yang berjauhan, karena terkadang khabar dari dan tentang Imam atau Pengusanya
tidak sampai pada daerah yang jauh, dan juga tidak diketahui siapa yang masih
hidup dan siapa yang telah mati dari mereka, sehingga memberi beban untuk taat sedangkan keadaannya
seperti ini adalah membebani dengan sesuatu yang tidak disanggupi.
Ini adalah hal yang jelas bagi orang yang mengamati keadaan negeri dan
masyarakatnya. Penduduk Cina dan India tidak tahu siapa yang
memiliki kekuasaan di bumi Maghrib apalagi untuk mentaatinya, demikian pula
sebaliknya. Demikian pula penduduk negeri-negeri bekas Sofiet tidak tahu siapa
yang berkuasa di daerah Yaman, demikian sebaliknya. Ketahuilah, inilah yang
sesuai dengan qawaid syar’iyah dan sesuai dengan apa yang ditunjukan oleh dalil.
Maka jauhilah pendapat yang menyelisihinya. Sungguh perbedaan antara
pemerintahan Islam di awal Islam dengan kondisi sekarang ini lebih terang dari
matahari di siang bolong. Barang siapa yang mengingkarinya maka dia adalah tipe
orang yang datang membawa kebohongan tidak pantas untuk diajak bicara dengan
hujjah/dalil sebab dia tiada berakal.
Kemudian beliau berkata (383) : Akan tetapi wajib bagi setiap muslim di
daerah itu untuk menerima kepemimpinannya setelah terjadi bai’at baginya,
mentaatinya dalam ketaatan, mendurhakainya dalam kemaksiatan, tidak
menentangnya dan tidak membantu kepada orang yang mau menentangnya. Jika tidak
demikian maka dia telah menyelisihi dali-dalil yang mutawatir, dan dia telah
menjadi seorang pembangkang, hilang (nilai/sifat) keadilannya dan telah
menyelisihi apa yang disyari’atkan Allah ta’ala serta apa yang diwasiatkan
dalam kitab-Nya kepada hamba-hamba-Nya untuk mentaati penguasa dan juga
menyelisihi apa yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berupa
kewajiban untuk taat dan haramnya
penyelisihan.
Saya katakan : Ini adalah perkataan yang ditimbang dengan timbangan
salaf yang keluar dari intisari kenabian, demikianlah Imam Syaukani dalam
menghukumi orang yang membangkang kepada penguasanya atau membantu orang yang
mau membangkang, bahwasanya dia itu adalah pembangkang dan hilang keadilannya.
Saya katakan : Dengan pemaparan yang cukup ini, maka bisa diketahui
sesatnya ungkapan ini yang diucapkan oleh seorang yang menyibukkan diri dengan
ilmu hadits pada tahun-tahun terakhir ini (dari orang yang menisbatkan diri
kepada Al Bani) yaitu perkataannya : “Tidak ada seorang penguasa yang syar’i
dimuka bumi pada masa sekarang ini.” Dan sebelumnya telah dikatakan oleh Sayid
(yakni Sayid Qutub, pent)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (8/12) : Imam adalah
penguasa tertinggi dalam Negara, tidak disyaratkan ia harus seorang imam bagi
seluruh kaum muslimin, karena imam yang umum telah hilang semenjak lama, dan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Dengar dan taatlah ! sekalipun
kamu diperintah oleh seorang budak Habsyi.” Jika seseorang telah menjadi penguasa melalui satu
sisi/cara tertentu maka dia telah menempati kedudukan Imam Umum, yang mana
ucapannya harus dituruti dan perintahnya harus ditaati. Semenjak Amirul
Mu’minin Utsman bin Affan umat Islam mulai terpecah-pecah. Ibnu Zubair di
Hijaz, Ibnu Marwan di Syam, Mukhtar bin Ubaid dan yang lainnya di Iraq, umat
terpecah, akan tetapi para Imam (agama) Islam meyakini akan loyalitas dan
ketaatan kepada siapapun yang memerintah di tempat mereka sekalipun bukan
khalifah secara umum. Dengan ini kita mengerti akan kesesatan perkataan : “
Sesungguhnya tidak ada imam bagi kaum muslimin saat ini dan tidak ada bai’at
bagi siapapun.” Kita mengharap ampunan
kepada Allah, saya tidak tahu apakah mereka itu menghendaki urusan (manusia)
kacau, tidak ada pemimpin yang mengendalikan manusia? Atau mereka ingin
mengatakan bahwa masing-masing orang menjadi amir untuk dirinya? Mereka jika
mati tanpa bai’at maka matinya jahiliyah, karena yang dikerjakan oleh kaum
muslimin semenjak masa yang silam, bahwa barang siapa yang menguasai suatu
daerah maka ucapannyalah yang tertinggi (diutamakan untuk didengar) dan ia
menjadi imam di daerah tersebut.
Hal ini disebutkan oleh Imam Shan’ani yang punya kitab Subulus Salaam,
beliau mengatakan : Sesungguhnya hal ini tidak mungkin untuk diterapkan
sekarang ini, dan itulah kenyataan sekarang. Negeri-negeri yang ada di satu
daerah kamu dapati mereka mengadakan pemungutan suara dan terjadilah perebutan kekuasaan, terjadi
suap menyuap dan menjual suara dan seterusnya. Maka jika satu negri saja tidak
mampu untuk memilih satu orang pemimpin kecuali dengan pemungutan suara (voting) seperti ini, maka bagaimana dengan
kaum muslimin secara umum. Ini sesuatu yang tidak mungkin!
Saya katakan : Termasuk diantara permasalahan yang tidak nampak dalam
bab ini adalah pentingnya perhatian mendidik generasi muda muslim di atas
aqidah salafiyah dalam masalah imamah ini. Sebagaimana seorang bapak yang telah
memiliki perhatian terhadap sunnah dalam mendidik anak-anaknya dengan aqidah
salaf dalam tauhid ibadah dan tauhid Asma’ wa Sifat. Demikian pula hendaknya
memiliki perhatian untuk mendidik anak-anaknya dengan aqidah salafiyah dalam
masalah imamah yang terangkum dalam wajibnya menegakkan bai’at kepada penguasa
kaum muslimin yang dia hidup di bawah pemerintahannya. Dan wajib bagi bapak ini
untuk memberi tarhib (memberi rasa takut) kepada anaknya akan bahaya
membangkang dari penguasa, dan nampak baginya pengingkaran apa yang dilakukan
oleh orang-orang Khawarij dan para da’i Qutbiyin sehingga tumbuhlah si anak di
atas kecintaan kepada manhaj salaf dalam masalah imamah dan membenci manhaj
Khawarij. Maka seseungguhnya anda akan merasa heran bahwa menyebarnya penyakit
Khawarij dan pembangkangannya kepada para penguasa negeri Islam, telah melanda
sebagian besar dari kebanyakan orang. Dan lebih mengherankan lagi, bahwa anda
adalah salah satu dari orang tua itu yang melarang anaknya dari komitmen yang
dhahir untuk memanjangkan jenggotnya dan memendekkan kainnya serta hadir di
majlis-majlis ilmu yang bermanfaat bagi para pelajar salafiyin. Pada gilirannya
tanpa terasa telah mendidik anaknya di atas pemberontakan yang mengacaukan,
mencela penguasa, terus-terusan mengeluhkan akan keburukan mereka, tidak ada
tanah yang tumbuh subur juga tidak ada tanaman yang tersisa, la haula wala
quwwata illa billah.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma membai’at Abdul Malik bin Marwan
dan membawa anak-anaknya untuk menetapkan bai’atnya, karena beliau mendidik
anak-anaknya sesuai dengan apa yang dipelajarinya dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam akan wajibnya bai’at kepada penguasa muslim sekalipun
kekuasaannya didapat dengan memenangkan perang (kudeta militer), dimana Abdul
Malik mendapatkan kekuasaannya dengan pedang. Dari Abdullah bin Dinar berkata :
Aku menyaksikan Ibnu Umar bersama orang-orang yang membai’at Abdul Malik.
Beliau berkata : Ia (Ibnu 'Umar) menulis : “Sesungguhnya aku mengikrarkan untuk
mendengar dan taat kepada hamba Allah Abdul Malik Amirul Mu’minin di atas
Sunnah Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai
kemampuanku, dan seungguhnya anak-anakku juga telah mengikrarkannya.”[10]
Abul Walid Al Baaji mewasiatkan kepada dua anaknya dengan mengatakan :
“Taatlah kepada penguasamu selagi tidak mengajak kepada maksiat, maka wajib
bagimu untuk menahannya dari maksiat dan curahkanlah ketaatan selain dalam
maksiat.” [11]
Saya katakan : Sangat jauh perbedaannya antara seorang ayah salafi dan
seorang ayah Khariji yang merasa bangga ketika telah mengajari anaknya untuk
menjawab ketika ditanya tentang penguasa : "Kafir". Dia merasa bangga dan merasa anaknya memiliki
keistimewaan apalagi anak-anaknya hafal Al Qur’an di bawah bimbingan seorang
Khariji penyulut (kebencian dan pemberontakan kepada penguasa) di
lembaga-lembaga penghafalan Al Qur’an dan yang semisalnya. Ternyata dia telah
mentalqin anak-anak itu dengan keyakinan Qutbi Sururi, maka tumbuhlah satu
generasi dari anak-anak muda yang menyimpan kedengkian yang terpendam dan
prinsip Khawarij yang tertutup rapat yang tidak membuahkan kecuali berbagai
fitnah dan carut marut, akhirnya dia menjadi korban dari kelalaian orang dan
hawa nafsu mereka.
Telah kita sebutkan di awal pasal ini tentang wajibnya menegakkan pemimpin
seorang muslim yang mengendalikan urusan kaum muslimin.
Berkata Imam Syaukani dalam Nailul Authar (6/62) : Telah berkata Imam
Nawawi dan yang lainnya…. Mereka ijma’ tentang wajibnya menegakkan seorang
khalifah dan kewajibannya adalah berdasarkan syari’at bukan akal. Dan telah
menyelisihi mereka Al Asham dan sebagian orang-orang Khawarij, mereka
mengatakan : Tidak wajib menegakkan khalifah. Yang diselisihi oleh orang-orang
Mu’tazilah yang mereka mengatakan : Wajib (menegakkan khalifah, pent) dengan akal
tidak dengan syari’at. Kedua-duanya adalah batil.
Demikianlah telah kami jelaskan akan wajibnya bai’at dan ancaman dari
meninggalkannya.
Salah seorang pentolan hizbiyin pada masa sekarang ini (yakni Maududi)
telah melampaui batas dimana dia tidak mencukupkan dengan pendapatnya Ahli
Sunnah tentang wajibnya menegakkan imam, bahkan dia mengatakan : Sesungguhnya
masalah kepemimpinan dan kekuasaan tidak lain adalah satu di antara masalah
kehidupan manusia dan salah satu dasarnya. Kemudian dia berkata : Tujuan agama
yang hakiki adalah menegakkan undang-undang imamah shalihah dan rasyidah.[12]
Hal ini telah dibantah oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi hafidhahullah dalam
kitabnya Manhajul Ambiya Fi Da’wati Ilallah fihil Hikmah wal Aql, beliau
mengatakan seperti dalam halaman 150 : Sesungguhnya masalah itu adalah apa yang
datang dibawa oleh semua Nabi yaitu masalah tauhid dan iman yang Allah ta’ala
telah rangkum dalam firman-Nya :
﴿وَمَا أَرْسَلْنَا
مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
أَنَا فَاعْبُدُونِ﴾ [الأنبياء: 25].
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya:"Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (Al Ambiya : 25)
Kemudian beliau berkata : Sesungguhnya tujuan agama yang hakiki dan
maksud dari penciptaan jin dan manusia serta tujuan diutusnya para Rasul dan
diturunkannya kitab-kitab adalah agar beribadah kepada Allah dan mengikhlaskan
agama hanya untuk-Nya.
Kemudian beliau membawakan bantahan Syaikhul Islam kepada Ibnul Muthahir
salah seorang Rafidhah Imamiyah yang telah berlebihan / ghuluw dalam masalah
imamah.
Dan seorang da’i (yang bernama) Muhammad Hasan (semoga Allah
mengembalikan kepada al haq) terpengaruh dengan manhajnya Maududi dan banyak
mengambil dalil dengan ketetapan-ketetapannya ketika memaparkan manhaj dakwah
yang wajib bagi para pemuda berjalan di atas jalan ini.
Dia berkata dalam buku Bahaya di Jalan Dakwah (58) : Berkata Syaikh Abul A’la Maududi dalam
kitabnya Manhajul Inqilab Al Islami : Negara itu tidak akan tertata kecuali
tersedia padanya unsur-unsur pemikiran, akhlak dan materi dalam masyarakat
seperti apa yang saya katakan, sebagaimana tidak mungkin sebuah pohon dari
semenjak tumbuhnya sampai sempurna menjadi sebuah pohon seperti pohon buah atau
limun misalkan kemudian jika tiba waktu buahnya maka akan berubah menjadi pohon
apel atau delima! Demikian pula daulah Islamiyah maka tidak akan mungkin
menjadi Daulah Islamiyah dengan cara-cara yang keluar dari kebiasaan, namun
harus diadakan dan di wujudkan dengan menampakkan yang pertama gerakan yang
menyeluruh yang dibangun di atas wawasan Islam dan pemikirannya dan di atas pilar-pilar
akhlak dan amaliyah yang sesuai dengan ruh Islam serta pilar yang dihasung oleh
orang-orang yang menampakkan kesiapan mereka yang sempurna untuk masuk dalam
celupan kemanusiaan yang khusus ini dan berusaha untuk menebarkan akal
Islamnya, mencurahkan upayanya untuk menghembuskan ruh Islam dalam masyarakat
….. Inilah cara inqilab (revolusi) Islami dan jalan yang fitrah untuk
merealisasikan pemikiran akan adanya sebuah Negara Islam.
Saya katakan : Inilah, berdirinya Negara Islam merupakan tujuan dakwah
bagi mereka, bukanlah tauhid sebagai tujuannya. Bahkan mereka telah memutar
balikkan kenyataan dengan menjadikan tujuan yang dengannya diutusnya para Nabi
dan Rasul (yaitu tauhid) dijadikan sebagai wasilah untuk tegaknya daulah. Bukan
daulah itu sebagai wasilah untuk tegaknya tauhidullah di muka bumi ini.
Nampaknya telah terjadi kerancuan padanya dengan sebab sumber rujukannya yang
berseberangan, dimana di menukil dari kitab-kitab salaf, namun dalam waktu yang
sama di menukil dari buku-buku harakiyin yang dianggapnya sebagai perintis
dalam shahwah Islamiyah, itulah sebabnya dia mengambil ketetapan-ketetapan
pemikiran mereka sebagai manhaj untuk orang berjalan di atasnya, sementara dia
di awal pemikiranya membatasi ciri-ciri manhaj para nabi dalam dakwah dan
bahkan dijadikan sebagai tanda yang paling nampak, sebagaimana dikatakan pada
halaman 38 : Berawal dengan mengajak manusia kepada tauhid yang murni dan
beribadah hanya kepada Allah saja …..
Kemudian tiba-tiba dia sudah berada di tengah hizbiyin harakiyin, hilang
sudah ciri-ciri yang nampak dari manhaj dakwah para Nabi, bahkan pemikiran
untuk menegakkan daulah Islamiyyah telah berhasil mengunggulinya (manhaj da'wah
para nabi tadi). Dan dia tidak merasa berat untuk menukil ungkapan mereka (yang
terambil dari manhaj Khawarij)sebagai bentuk pengakuan terhadapnya, seperti
perkataan Al Maududi tadi : Ini adalah cara perubahan secara Islami, dan di
sepanjang kitabnya ini dia perbanyak istilah-istilah hizbiyin : Harakah
Islamiyah, Shahwah, Thawaghit (yang berarti kelompok yang sempit), Takwin Fardi
(pembentukan individu), Tandzim Jama’I (penyatuan jama'ah), Nidzam Islami
………….. dan seterusnya. [13]
Dia mengatakan pada halaman 7 : Di antara bahaya yang paling besar yang
mengancam gerakan Islam masa kini adalah penyikapan yang salah pada sebagian
individu terhadap nash yang umum atau khusus, hal itu karena kesalahpahamannya
apalagi menjadikannya sebagai dalil pada yang bukan tempatnya atau meletakkan
tidak pada tempatnya atau tanpa memahami yang berkaitan itu umum atau khusus
yang menjadi keharusan adanya sinkronisasi yang
benar diantara pendalilan nash dan gerakan yang nyata. Maka untuk keluar dari
bahaya yang membingungkan ini kita harus kembali kepada salaful umah dan kepada
ulamanya yang terpercaya dalam memahami Al Kitab dan As Sunnah. Inilah manhaj
yang kokoh untuk suatu pemahaman yang benar.
Saya katakan : Ini contoh yang lain dari kerancuan manhajnya, dia telah
mengganti dalam tempat ini (dan dibagian yang lain) istilah Harakah Islamiyah[14]
diganti dengan istilah Dakwah Salafiyah karena kesengajaan dari dia sebagaimana
hal itu merupakan sunnahnya orang-orang Hizbiyin, karena gerakan Islam menurut
mereka mencakup semua kelompok dan jama’ah tanpa memandang akan hakikat
kerusakan manhajnya yang bid’ah. Dia sadar bahwa jama’ah-jama’ah ini (yang
merupakan gerakan Islam menurutnya) memliki penyimpangan-penyimpangan yang
dibahasakannya dengan kesalahan ijtihad yang terjadi seperti yang dia sebutkan
sebelumnya. Demikian dia memberi isyarat global akan kesalahan-kesalahan ini yang
akan dirasakan oleh pembaca bahwa kesalahan itu tidak sampai kepada bid’ah dan
kesesatan yang mengeluarkan kelompok-kelompok ini dari nama Dakwah Salafiyah,
maka kemudian dipakai istilah Harakah Islamiyah karena istilah ini seperti
karet, dimana para pengekor gerakan ini mengajak kembali kepada kepada salaful
umah dan ulamanya yang terpercaya, namun ternyata yang didahulukan adalah Al
Maududi, Sayid Qutub, Abul Hasan An Nadawi, Yusuf Qardawi, Muhammad Al Ghazali
dan Shalih Shawi, bahwa mereka termasuk para ulama yang terpercaya khususnya
dalam masalah prinsip manhajiyah yang mereka sebutkan sebagai Manhaj Haraki.
Kemana perginya Al Bani, Ibnu Baaz, Ibnu Utsaimain, Abdurazzaq Afifi dan yang
lainnya (mudah-mudahan Allah merahmati mereka dan memberkahi yang masih hidup).
Mereka tidak didahulukan dalam manhaj haraki, namun mereka diagungkan (menurut
mereka) dalam masalah-masalah fikh, tashih hadits dan dalam penetapan masalah
Asma’ dan Sifat saja. Adapun manhaj haraki dalam dakwah, maka sumbernya adalah
orang-orang yang telah kami sebutkan tadi. Oleh karena itu sumber rujukan pokok
mereka dalam menetapkan makna tauhid dan manhaj adalah tulisan-tulisannya Sayid
Qutub dan Maududi.
Dia berkata pada halaman 50 : Yaitu (kalimat tauhid) : menetapkan sifat
hakimiyah bagi Allah saja.[15]
Maka dengan hilangnya pemahaman yang benar dan universal akan makna tauhid ini,
hilang pula dasar yang besar yang merupakan yang paling khusus dari sifat
uluhiyah, maka menyimpanglah kaum muslimin (kecuali yang dirahmati Allah) dari
syari’at Allah Ta’ala dan ditempatkannya hukum positif yang jahat sebagai
penggantinya.
Kemudian disambungnya dengan menukil
dari Fii Dzilalil Qur’an karya Sayid Qutub dalam menetapkannya, kemudian
ia berkata pada halaman 57 : Bertolak dari ini saja, kita tahu bahwa termasuk
kesalahan yang jelas untuk mengawali jalan dakwah kita yang panjang ……… Dan
tonggak dasar pertama pada bangunan yang kuat dan besar ini adalah harus
berseberangan dengan penguasa.[16]
Kemudian dia menguatkan omongannya ini dengan nukilan dari Maududi dan
Sayid Qutub, diantaranya nukilan yang sudah tersebut tadi dari Maududi dalam
kitab Manhaj Inqilab Al Islami yang dikatakan sebagai kitab yang sangat
bernilai.
Kamus kecil
Rafidhah :
golongan syiah
Menisbatkan : menasabkan, menghubungkan, meng-asalkan
Khawarij : orang-orang yang keluar dari jama’ah kaum
muslimin juga membuat amir sendiri ketika dalam suatu Negara sudah ada pimpinan
yang tertinggi yang mempunyai kekuasaan, dan juga mengkafirkan muslim dengan
cara yang tanpa hujah yang jelas
Mu’tazilah : golongan ahli bid’ah dari kelompok jad bin
qois diteruskan oleh Jahm bin sofwan dan kawan-kawan yang membuat bidah
Murji’ah : golongan ahli bid’ah yang pasrah pada pada takdir
Maslahat : kebaikan
Madharat : keburukan
Ru’yah
hilal : melihat bulan / tanggal untuk menentukan masuknya bulan
Taqiyah /
bithonah : berbohong dalam rangka menyembunyikan suatu hal
Hizbi : golongan / partai yang fanatik buta terhadap golongannya
Qawaid
syar’iyah : kaidah-kaidah yang disyariatkan
Hizbiyin harakiyin : golongan pergerakan yang
keluar dari jamaah kaum muslimin yang mempunyai pemahaman khawarij
Ihwanul muslimin : salah satu golongan ahli bidah yang berprinsip khawarij
[1] Mereka adalah pengikut Najdah bin Amir Al Hanafi, dan dikatakan
juga : Ashim, sebagaimana dalam Ilal wa Nihal hal : 53
[2] Nampaknya Adz Dzahabi mengambil pendapat ini dari Ibnu Hazm di Al
Fashl 4/72-73
[3] Tentunya dengan tabiat mereka itu dan perkataan Syaikhul Islam
tidak ada satupun yang mendukung hawa nafsu mereka.
[4] Kaset 1b rekaman Minhajus Sunnah Riyadh
[5] Sampai di sini perkataan Syeh Abdussalam Barjas, beliau seorang
talibul ilmi yang memiliki banyak pengaruh dalam mengembalikan para pemuda
kepada manhaj salafiyah baik dalam tulisan-tulisannya ataupun
ceramah-ceramahnya, rahimahullah. Kami diberitahu berita kematiannya dan buku
ini masih dalam persiapan
[6] Muqadimah Ibnu Khaldun (1/220) Al Manhajut Taam fi Wujubi Bai’atil
Hukam (12)
[7] Bai’at antara Sunnah dan Bid’ah (23) Al Manhajut Taam fi Wujubi
Bai’atil Hukam (12)
[8] Shahih Muslim (1851)
[9] Al Ajwibatil Mufidah min As’ilatil Manahijil Jadidah (204) cet.
Darul Minhaj
[10] HR.Bukhari 7203
[11] Wasiat Abul Walid Al Baji kepada dua anaknya, cet Mua’sasah Rayyan
(40)
[12] Usus Akhlaqiyah (21-22) dengan lewat Manhajul Ambiya ( 149)
[13] Kalau kita kembalikan kepada Muqadimah Syeh Ibnu Ramzan, kita akan tahu sebab kegoncangan
ini karena bercampurnya sumber rujukan padanya. Apakah agama itu gerakan,
kebangkitan atau revolusi !
[14] Apakah agama itu gerakan, kebangkitan atau revolusi !
[15] Ini adalah yel-yelnya Sayid dan Muhammad Qutub serta pengekornya.
[16] Harapan kami agar da’i ini mengoreksi kembali manhaj Sayid Qutub
dari buku-bukunya supaya tahu kalau dakwahnya berdiri di atas profokasi
anak-anak muda dan memancing mereka untuk melawan kepada penguasa, meskipun dikatakan
: Itu kan
dahulu, Sayid telah rujuk sebelum matinya. Maka kita jawab : Mengapa tidak anda
jelaskan kepada anak-anak muda bahwa ini adalah manhaj Khawarij yang ada pada
tulisan-tulisan Sayid yang katanya telah rujuk kemudian anda ikutkan dengan mentahdzir
mereka dari buku-buku ini. Padahal anda tahu sampai sekarang pun terus menerus
dicetak dan anak-anak muda banyak terpengaruh dengannya, hal dengan tidak bisa
menerimanya kita dengan kebenaran rujuknya ini. Kemudian terasa dari
perkataannya bahwa berseberangan dengan penguasa adalah perkara yang mesti
terjadi bukan sesuatu yang terlarang, hanya saja jangan mengawali dakwah
dengannya, namun di tunda sampai pada marhalah yang terakhir. Bersebarangan
dengan penguasa artinya adalah menentang kepada mereka dengan kekuatan, yang
hal ini adalah haram baik di awal ataupun di akhir.
|
Selasa, 02 Oktober 2012
baiat dan imamah yang benar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar